Eks Kabareskrim Anang Iskandar Bongkar Kesalahan Penegakan Hukum Terkait Fenomena Amnesti Massal
Font Terkecil
Font Terbesar
karyaindonesianews.com,|| Eks Kabareskrim Anang Iskandar Bongkar Kesalahan Penegakan Hukum terkait Fenomena Amnesti Massal.
Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol (Purn) Drs. Anang Iskandar,S.I.K,S.H,M.H hadir, kembali membuat publik geger!
Lewat cuitannya di media sosial, sang jenderal purnawirawan menguliti tuntas kejanggalan proses hukum terhadap seorang pemusik yang bernama Fariz RM—yang justru dihukum layaknya pengedar narkotika, padahal sejatinya hanya seorang penyalah guna.
“Penegak hukum harus mengambil pelajaran dari fenomena amnesti massal terhadap 1.178 narapidana. Fariz RM seharusnya direhabilitasi, bukan dipenjara!” tulis Anang dalam pernyataannya yang viral di media sosial pada Kamis (7/8).
Dr Anang Iskandar menegaskan, bahwa jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) benar-benar memahami UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, maka Fariz RM seharusnya hanya dijerat Pasal 127 Ayat 1 — pasal khusus untuk penyalah guna, bukan untuk pengedar.
“Tidak boleh pakai dakwaan komulatif, alternatif, apalagi dijunto-kan dengan Pasal 55 KUHP!” tegas pria yang juga mantan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI).
“Rehabilitasi Itu Hak, Bukan Kebaikan Hati Penegak Hukum”
Anang menyesalkan penegakan hukum yang seolah masih menggunakan pendekatan pidana murni, padahal UU Narkotika dengan tegas bersifat rehabilitatif bagi penyalah guna.
Bahkan, lanjutnya, penyidik dan penuntut umum tidak memiliki kewenangan menahan tersangka penyalah guna seperti Fariz, melainkan wajib menempatkannya di lembaga rehabilitasi atau rumah sakit IPWL (Instansi Penerima Wajib Lapor) baik milik pemerintah atau swasta.
“UU No 35/2009 bukan UU pidana, melainkan UU perlindungan. Penyalah guna narkotika bukan penjahat. Mereka korban!” ujar Anang.
Hakim Salah Ruang Sidang?
Yang makin membuat publik geleng-geleng kepala, menurut Anang, Fariz bahkan tidak diadili di Pengadilan Khusus Narkotika, melainkan di Pengadilan Negeri biasa.
Padahal, hakim di pengadilan umum tidak memiliki kompetensi khusus mengadili penyalah guna narkotika, dan cenderung memakai pendekatan pidana umum.
“Akhirnya apa? Fariz dihukum layaknya pengedar untuk ketiga kali, bahkan mungkin keempat !” tulis Anang.
Presiden Harus Turun Tangan!
Saking parahnya sistem penegakan hukum ini, Anang menyindir bahwa satu-satunya koreksi atas nasib Fariz RM, boleh jadi justru datang dari Presiden melalui amnesti.
“Masak iya, penegakan hukum terhadap orang yang membeli narkotika untuk dikonsumsi saja, yang koreksi harus presiden lewat Amnesti? Negara ini mau dibawa kemana?” sindir Anang tajam.
Tagar #RehabilitasiBukanPenjara Mulai Menggema
Pernyataan keras Anang Iskandar ini langsung memicu gelombang diskusi di media sosial. Tagar #RehabilitasiBukanPenjara dan #FariszAdalahKorban mulai trending di X (Twitter).
Banyak aktivis, akademisi, dan pengacara muda yang mendesak Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung untuk membuka kembali kasus Farisz dan mengevaluasi ribuan kasus penyalah guna narkotika yang nasibnya terjerumus ke penjara akibat salah tafsir hukum.
Catatan: Pasal 103 UU Narkotika Wajib Dijalankan!
Sebagai pengingat, Pasal 103 UU No 35 Tahun 2009 memberi kewenangan wajib kepada hakim untuk memerintahkan rehabilitasi bagi penyalah guna, baik terbukti bersalah maupun tidak bersalah.
Bahkan masa rehabilitasi tersebut dihitung sebagai masa menjalani hukuman. Ini adalah bentuk hukuman khusus, bukan pidana penjara.
Ini Alarm untuk Reformasi Total Penegakan Hukum Narkotika
Pernyataan Anang Iskandar bukan sekadar kritik, tetapi alarm keras akan kekacauan dalam sistem peradilan narkotika Indonesia.
Ketika korban justru diperlakukan sebagai pelaku, dan penegak hukum keliru membaca roh undang-undang, maka jangan heran bila presiden harus turun tangan—bukan untuk membenarkan, tapi menyapu reruntuhan ketidakadilan.
REDAKSI